SEJARAH POLRI
ZAMAN HINDIA BELANDA
Kedudukan,
tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman
Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Sampai jatuhnya Hindia Belanda,
Kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor
"Hoofd van de Dienst der Algemene Politie"
yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian,
pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan
kepolisian.
Wewenang
operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts
politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa
agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk
kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota ), cultur politie
(polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan
dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris
van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan
seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam
praktik peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van justitie.
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Pada masa pendudukan
Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua lingkungan
kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan
Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak
anggota kepolisian bangsa Indonesia
menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat
kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk
Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan
berkedudukan di Banjarmasin .
Tiap-tiap kantor polisi
di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia ,
tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam
praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia
Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang
menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan
(semacam hansip).
ZAMAN REVOLUSI FISIK
Tidak lama setelah
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu,
pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap
bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia
yang merdeka.
Inspektur Kelas I
(Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan
Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan
polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian
Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19
Agustus 1945. Pada 29 September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian
RI (Kapolri) pertama Jenderal
Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi
Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek
bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17
Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi
Repoeblik Indonesia .”
Setelah proklamasi,
tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan, karena masih
diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian,
seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946
dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara
yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri (pada saat itu
Pusat/Mabes Kepolisian Negara berkedudukan di Purwokerto Jawa Tengah). Semua
fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin
kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia
yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal yang menarik, saat
pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah
mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60
juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu itu sudah 1:500.
(Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu
personel, atau 1:1.300)
Sebagai bangsa dan
negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas
sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri
menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi
Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk
perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya,
di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di
Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet
presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil
presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi
fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI.
Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember
148).
ZAMAN REPUBLIK INDONESIA
SERIKAT (RIS)
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS
dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI
berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No.
22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan
politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa
agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada
menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa
bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada
tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian
disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia . Dalam peleburan tersebut
disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang
kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
ZAMAN DEMOKRASI
PARLEMENTER
Dengan dibentuknya
negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang
menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri
kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto
merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI
(DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini
kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki
organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri,
sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi
yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus
secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di
Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah
gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil
melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik
dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi
parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu
tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan
administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan
(memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta
mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika
Serikat.
ZAMAN DEMOKRASI
TERPIMPIN
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah
kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD
1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945.
Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda)
diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri
Pertama sampai keluarnya Keppres
No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan
Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli
1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri
Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan
Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala
Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin
Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno
menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan
Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga
profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto
mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga
berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga
15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri
atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan
Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian
Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan
nasional.
Tanggal 19 Juni 1961,
DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan
bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan
TNI AD, AL ,
dan AU.
Dengan Keppres No.
94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri
Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti
menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan
Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)
dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut:
1.
Alat Negara Penegak Hukum.
2.
Koordinator Polsus.
3.
Ikut serta dalam pertahanan.
4.
Pembinaan Kamtibmas.
5.
Kekaryaan.
6.
Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No.
155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang
dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965,
pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI
mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
ZAMAN ORDE BARU
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968,
jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian
ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan
perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima
Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala
Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri.
Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL , dan AU diganti
menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai
tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk
menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
PASUKAN POLISI REPUBLIK INDONESIA
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan
Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain
menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat
langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai operasi militer
bersama-sama kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh
Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relatif
lebih lengkap.
Hanya empat hari setelah kemerdekaan,
tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan polisi ini
segera mengganti nama menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia yang sewaktu
itu dipimpin oleh Inspektur Kelas I
Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain
mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah
perang, juga membangkitkansemangat moral dan patriotisme seluruh rakyat maupun persatuan bersenjata lain yang
patah semangat akibat kekalahan perang yang panjang.
Tanggal 29
September 1945 tentara Sekutu yang di dalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda menyerbu Indonesia dengan alasan ingin
menghalau tentara Jepang dari negara tersebut. Pada kenyataannya pasukan Sekutu
tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia . Oleh karena itu perang
antara sekutu dengan pasukan Indonesia
terjadi di mana-mana. Klimaksnya terjadi pada tanggal 10 November 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran
Surabaya". Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun
diperingati oleh rakyat Indonesia .
Pertempuran 10
November 1945 di Surabaya menjadi
sangat penting dalam sejarah Indonesia,
bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena
semangat perwiranya mampu menggetarkan dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih melihat eksisnya bangsa
dan negara Indonesia di mata dunia. Kini tugas Polri yang utama ialah menjaga
keamanan dan ketertiban di dalam negeri, Polri juga semakin sibuk dengan
berbagai operasi, seperti Operasi Ketupat menjelang Idul Fitri, Operasi Lilin
menjelang Natal, dan lain-lain.
POLRI KINI
Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian
yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan
ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah
keamanan dan ketertiban regional maupun antarabangsa, sebagaimana yang ditempuh
oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk
Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika
Selatan) dan di Kamboja (Asia).Sumber : Wikipedia