HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk)
ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada
delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili
ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2,
pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3
KUHP.
Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
1.
Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie)
atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von
Buri
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu
nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula.
Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu
adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan,
maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut
waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim
dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa
menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke
dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab
dari matinya A.
2.
Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto),
artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif
dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang
faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya
tidak banyak antara lain : Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat
yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung); Binding.
Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie” yang disebut “sebab” adalah
syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot
yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah
faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan
faktor positif itu.
3.
Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat
secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah
diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat
menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau
menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari
sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare
artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori
adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya
hubungan sebab akibat yang adequat : Suatu jotosan yang mengenai hidung,
biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang
yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat
yang abnormal, yang tidak biasa.
Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan
asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak
terlihat dengan nyata teori mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong
ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan
akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en
rechtsreeks).
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (147
hal 115)
sebuah mobil menabrak
sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu
dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api
itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari
penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan
Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah yang
membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak
tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari
tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936
diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937.
Perbuatan terdakwa yang
tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi (stuur)
dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab
dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan
terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan
terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai
suatu syarat dan bukan sebab.
d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Terdakwa sebagai kerani
bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu
berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena
terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-barang angkutan dalam
kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak
tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat. Di dalam
pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat”
dengan “kecelakaan itu”.
Kausalitas dalam hal
tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan
dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak
sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan
“tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu
adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat :
sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab
dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam
delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak
sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan
tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka
dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat
sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang
menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai
kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Sumber : http://minsatu.blogspot.com