Oleh: Grace P. Nugroho, SH
“Perjanjian fidusia adalah
perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan.
Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan”.
Tetapi untuk menjamin kepastian
hukum bagi kreditor maka dibuat akta
yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti
kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak
eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia
kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia.
Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta
notaris dan didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah
tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak
di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang
(notaris, PPAT dll).
Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian
sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan
pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian
sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak
dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah
sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut
pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan
dan isi akta tersebut. Dalam
prakteknya, di kampung atau karena
kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah
tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta
tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang
berwenang.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan
(finance) dan bank (bank umum maupun
perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring).
Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan
fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan
menyediakan barang bergerak yang diminta
konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen
sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan
kepada kreditur (pemberi kredit) secara
fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi
fidusia kepada kreditur yang dalam posisi
sebagai penerima fidusia. Praktek
sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu
kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik
debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan
salinannya diberikan kepada debitur.
Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima
fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti
terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat
tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian
pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya
tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan
fidusia di bawah tangan.
Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui
juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi.
Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong
praja dan pamong desa/kelurahan dimana
benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat
jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi
kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.
Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan
akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya
karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat
pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan
kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan
bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian
milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai
harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
dapat digugat ganti kerugian.
Dalam konsepsi hukum pidana,
eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal
368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal
ini menyebutkan :
- Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
- Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang
secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau
seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang
tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan
dalam di kantor fidusia. Bahkan
pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi
mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu
butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi
perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan
dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun
1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian
jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin
saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas
tuduhan penggelapan sesuai
Pasal 372 KUHPidana menandaskan:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling
melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik
kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri
setempat untuk mendudukan porsi masing-masing
pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi
proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak
sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir
bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi
sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang
membutuhkan kecepatan dan customer
service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada.
Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat
perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris
sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di
lapangan dalam waktu yang relatif cepat.
Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang
yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial,
rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka
aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya
daya tawar nasabah terhadap kreditor
sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih
rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh
pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank
yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara
non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak,
karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan
fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan
pendapatan negara.
Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian pacta sun
servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi
undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum
perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan
eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan
perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga
turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar
dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang
dikandungnya.
Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan
semua upaya hukum yang tersedia. Biaya
yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan
dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa
keadilan semua pihak. Masyarakat yang
umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan
transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum
adalah penting.
Sumber :hukumonline.com