Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan
perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada
dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan
delik biasa.
Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa
adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah
mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban
untuk memproses perkara tersebut.
Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang
hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang
menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam
bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik
tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada
pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (hal. 88) membagi delik aduan menjadi
dua jenis yaitu:
a. Delik aduan
absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan
berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk
menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi:
“..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang
dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan,
membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak
dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan
pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya,
ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan
istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan
dilakukan penuntutan.
b. Delik aduan
relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan
delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan
dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini
tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini
maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi
untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik
aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya
dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat
mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A,
sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam
hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A
dituntut”.
Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam
waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan,
jika bertempat tinggal di Indonesia,
atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia
(lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan pengaduan
berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah
pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Lebih lanjut
Soesilo menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat
diajukan lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284, pengaduan itu
dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang
pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih
menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap,
barulah dimulai pemeriksaannya.
Pada intinya,
terhadap pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidana atas
persetujuan korbannya. Jika pengaduannya kemudian dicabut, selama dalam jangka
waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan, maka proses hukum akan dihentikan.
Namun, setelah melewati tiga bulan dan pengaduan itu tidak dicabut atau hendak
dicabut setelah melewati waktu tiga bulan, proses hukum akan dilanjutkan.
Kecuali untuk kejahatan berzinah (lihat Pasal 284 KUHP), pengaduan itu
dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang
pengadilan.
Dasar hukum:
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).
Sumber :
http://www.hukumonline.com